Lebih Baik Dikoleksi Museum…

Tim Indonesia Art News Indonesia Art News 8 Maret 2010
Di latar belakang adalah video performance art FX Harsono bertajuk "Destruction" (1997) yang dilakukan di seputar pameran Slot in The Box, di Cemeti Gallery (kini Cemeti Art House). Dan di depan adalah karya instalasi, Burn Victim.

RABU malam, 3 Maret 2010, di Singapore Art Museum Glass Hall, perupa Indonesia FX Harsono menjadi bintang, dan tentu pusat perhatian. Mulai malam itu, hingga 7 Mei 2010, karya-karyanya dipajang di ruang utama Singapore Art Museum dalam perhelatan pameran tunggalnya bertajuk “Testimonies”. Ini menjadi perhelatan penting bagi perjalanan kreatif seniman kelahiran Blitar, 22 Maret 1949 yang pernah terlibat dalam gerakan Desember Hitam tahun 1974 (bersama Hardi, Bonyong Munni Ardhi, Anyool Subroto, Bachtiar Zainoel, Pandu Sudewo, Nanik Mirna, Muryoto Hartoyo, Ris Purwana, Siti Adyati dan sebagainya) yang menggegerkan jagad seni rupa waktu itu.

Berikut ini wawancara tertulis Indonesia Art News (IAN) bersama seniman yang pernah studi di STSRI/ASRI Yogyakarta (1969-1974), Institut Kesenian Jakarta (1987-1991), School of Art, The South Australian University, Adelaide, Australia (1992) dan The Amsterdam Grafitsch Atelier, Amsterdam, Belanda (2002-2003).

IAN: Pameran tunggal Testimonies berlangsung di usia Anda yang telah berkepala 6. Apakah ini menjadi testimoni kesenimanan Anda secara personal, atau menyuarakan testimoni Anda sebagai homo socius (makhluk sosial) yang masih saja ingin mengritisi segala problem sosial di sekitar Anda?

FX Harsono: Kedua-duanya. Ketika saya bicara saya sebagai person maka tak bisa dipisahkan saya sebagai bagian dari makhluk sosial. Ketika saya mengangkat tema yang personal seperti permasalahan identitas ternyata saya juga sedang membicarakan permasalahan identitas yang menyangkut orang lain. Saya adalah saya yang personal dan sosial.

Apakah ini menjadi pameran retrospektif Anda yang paling komprehensif? Dari sisi kelengkapan material karya atau lebih pada keutuhan aspek gagasan?

Pameran ini sebenarnya bukan pameran retrospektif. Pameran ini lebih menampilkan tonggak-tonggak yang mewakili jejak perjalanan kesenian saya. Jadi tidak sekadar mewakili kegiatan dari tahun ke tahun. Kalo dibilang paling komprehensif nggak juga. Ruang di Singapore Art Museum yang disediakan (lantai 2) tidak terlalu besar untuk karya-karya instalasi saya yang lumayan besar. Tetapi saya anggap cukup mewakili aspek gagasan dan perjalanan kesenirupaan saya selama ini. Setelah melalui diskusi panjang antara saya, kurator dari SAM Siu Li, Yu Jin, kemudian Hendro Wiyanto dan Joanna Lee sebagai project officer sekaligus penasehat pameran ini; maka didapatkan daftar karya yang berjumlah 19 karya. Ada beberapa karya yang menurut saya sangat kuat dan menarik tetapi karena harus ditampilkan secara utuh dan itu membutuhkan ruang yang panjang, jadi tidak bisa ditampilkan. Karya itu “Blank Spot on My TV” dan “Cogito Ergo Sum”.

Bagaimana relasi pameran “Testimonies” ini dengan pameran “The Erased Time”: Darkness, yang berlangsung akhir tahun lalu di Galeri Nasional Indonesia? Sebuah kesinambungan, atau perca-perca narasi yang tak bersambung?

Pameran ini berbeda dengan pameran-pameran saya sebelumnya. Pameran saya biasanya menampilkan satu tema saja. The Erased Time menampilkan tema tentang kesejarahan saya, keluarga saya dan lingkungan keluarga saya. The Erased Time benar-benar bicara tentang identitas saya sebagai bagian dari keluarga Tionghoa yang mengalami persoalan-persoalan kebudayaan, sosial dan politik di dalam negara Indonesia yang tidak terlalu terbuka untuk menerima perbedaan. Sedangkan pameran ini menampilkan tonggak-tonggak dari perjalanan saya. Ada 2 bagian besar, yaitu pertama, pada masa awal perjalanan yang ditandai dengan karya-karya pada masa GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru) yang di dalamnya juga tertampilkan tema-tema sosial hingga karya-karya yang menandai runtuhnya resim Soeharto. Kemudian diteruskan dengan tema identitas, dimana saya mulai melihat diri saya sebagai individu yang menjadi bagain dari masalah identitas etnis Tionghoa, termasuk di dalamnya karya instalasi “Rewriting The Erased” dan video “Ndudhah” (Membongkar, red IAN).

Kenapa pameran yang relatif sangat penting ini justru berlangsung di Singapore Art Museum (SAM), dan bukan di Indonesia? Seberapa seriuskah Sam mengelola perhelatan Anda ini?

Kebetulan saja Langgeng Gallery menawarkan pameran tunggal saya di SAM dan diterima, kemudian dicarilah tema yang tepat. Pameran ini direncanakan akan dibawa ke Jogja akhir tahun 2010 dengan ditambah beberapa karya.

SAM sangat serius dan profesional dalam menyelenggarakan pameran ini. Penataan ruang sampai hal-hal yang kecil – seperti labeling – membuat saya sangat terkesan dengan konsep dan cara kerja mereka. SAM memakai tenaga exhibition designer yang pernah mendapat president award sebagai penata pameran di Singapura untuk pameran saya ini. Seharusnya para pemilik galeri dan penyelenggara pameran banyak melihat pameran-pameran di luar negeri, sehingga mereka tau bagaimana meng-handle dan menyelenggarakan pameran yang baik. JADI JANGAN TERLALU BANGGA DENGAN BIENNALE JOGJA yang jamming dan mendadak publik, tapi amburadul. (Huruf kapital dituliskan sendiri oleh FX Harsono, red IAN).

Apa nilai strategis dari pameran ini bagi kesenimanan Anda, bagi dunia seni rupa Indonesia, juga bagi bangunan citra SAM?

Ini adalah pameran tunggal yang pertama di SAM dari seorang seniman kontemporer Indonesia. Tentu ini sangat berarti bagi saya dan perjalanan kesenian saya ke depan, begitu harapan saya. Karena setidak-tidaknya akan mendapat sorotan komunitas seni rupa internasional (meski belum tahu seberapa besar sorotan itu). SAM dan Singapura saat ini berusaha membangun citra sebagai pusat kebudayaan Asia dan Asia Tenggara khususnya tentu sangat berkepentingan dengan menampilkan seniman-seniman dari Asia Tenggara. Meski demikian tidak berarti SAM mengobral event tanpa seleksi ketat. Seleksi dan persyaratan untuk bisa pameran tunggal di SAM agak ribet dan ketat. Langgeng Art Foundation apply pameran ini sejak tahun 2008 akhir.

Beberapa sumber menginformasikan bahwa mungkin sebagian besar karya penting Anda akan dikoleksi oleh pihak SAM. Kalau informasi ini benar, apakah bukan sebuah kerugian bagi seni rupa Indonesia yang artefak karya-karya penting seni rupanya mulai “terbang ke luar”?

Hanya 3 karya saja yang akan dikoleksi. Kalau bicara tentang kerugian, negara kita ini sudah banyak ruginya karena kebijakan pemerintah dalam mendukung kesenian tidak ada. Tidak ada museum yang benar dan baik di Indonesia. Bagi saya karya saya dikoleksi oleh museum lebih baik dari pada dikoleksi oleh kolektor, apa lagi kolektor yang hanya berpikir seni sebagai komoditi.

Apakah mungkin pameran ini juga berbau aspek komodifikasi karya yang kuat seperti diasumsikan oleh sebagian publik ketika pameran tunggal Nyoman Masriadi berlangsung beberapa waktu lalu?

Ada perbedaan antara pameran saya dan Masriadi. Pameran Masriadi di 8Q, yaitu galeri yang dikelola oleh Singapore Art Museum, bukan dan berbeda dengan SAM. 8Q terletak di Queen Street no 8, maka namanya 8Q, sedangkan SAM terletak di Jalan Bras Basah. Pameran saya terletak di gedung utama SAM. 8Q diperuntukkan karya-karya perupa muda terutama dari Singapura.

Persyaratan yang di minta oleh Sam dalam pameran saya adalah: pameran bukan komersial, sehingga SAM tidak mau bekerjasama dengan galeri komersial. Maka dari itu Langgeng Gallery tidak bisa bekerjasama dengan SAM. Kalau Langgeng mau bekerjasama diminta untuk membuat yayasan dan bukan galeri komersial. (Maka kemudian terbentuklah Langgeng Art Foundation, red IAN). Pertimbangan dari pihak SAM adalah sejarah seniman harus mempunyai reputasi yang dianggap cukup berkualitas untuk tampil di museum selain karya-karyanya.

Berapa lama Anda menyiapkan pameran ini, mulai dari undangan resmi hingga pameran akhirnya berlangsung?

Persiapan pameran ini dirintis oleh Deddy dengan dibantu oleh Joanna Lee sebagai konsultan sejak pertengahan 2008. Dan baru dapat jawaban awal 2009. Jadi komunikasinya cukup panjang.

Respons apa yang Anda bayangkan atas pameran tunggal Testimonies ini? Apakah Anda kira-kira akan masuk dalam orbit perbincangan pada diskursus seni rupa yang lebih mengglobal, atau harga karya akan melambung lagi? Hahaha… Atau Anda mencium praduga lain?

Ada beberapa hal yang saya lihat positif, yaitu: pertama, menunjukkan kepada dunia internasional melalui Singapura bahwa gerakan seni rupa di Indonesia menolak modernisme ada sejak tahun 1975 dan itu bisa dibilang orisinal bila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya dalam menanggapi modernisme dan perkembangan seni rupa kontemporer.

Kedua, wacana ini akan tersebar melalui media yang cukup banyak yang men-cover pameran ini, mulai dari harian The New Straits Times, The Herald Tribune, Bussines Times, Asian News Channel (TV), media-media lokal berbahasa Tionghoa dan Melayu, majalah C-Art, Art Asia Pacific, beberapa majalah seni rupa dari Eropa yang mewawancarai saya. Perhatian media sangat luar biasa, hal ini diakui oleh pihak SAM sendiri.

Ketiga, ada 1 karya yang disumbangkan ke SAM dan 2 karya yang dikoleksi. Sementara dalam hal penjualan karya tidak diperbolehkan selama pameran.

Title:

Year:

Curator:

Venue:

Duration:

Share on