Perjalanan Menemukan Diri

Seorang pria berkaus putih berdiri meng hadap layar dari kaca. Di tangannya tergenggam sebuah kuas. Di atas kaca itu, ia melukis sederet aksara Cina dengan tinta hitam. “Oh Hong Boen” bunyinya. Tak lama, hujan turun, mengalir di kaca menghapus tinta. F.X. Harsono, pria itu, sekuat tenaga melukis kembali nama Tionghoa-nya di atas kaca. Namun, secepat apa pun ia menggoreskan kuas, lebih cepat lagi air menghapusnya.
Performance art yang terekam dalam video itu adalah karya Harsono pada 2011. Menulis dalam Hujan judulnya. Setelah puluhan tahun kebudayaan Tionghoa ditekan oleh rezim Soeharto, Harsono kehilangan pengetahu an tentang bahasa dan budaya Cina. Ia, keturunan Tionghoa, mencoba merangkul kembali identitasnya setelah Orde Baru jatuh. “Satu-satunya yang saya ingat adalah bagaimana menulis nama saya dalam aksara Cina,” kata Harsono di Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda, pekan lalu.
Pencarian identitas dan penggalian sejarah kelom pok etnis Tionghoa menjadi tema utama dalam karya-karya Harsono selepas 2000-an. Karya-karyanya didasari riset mendalam yang menjawab persoalan sejarah Tionghoa yang hilang di Indonesia, sekali gus menjawab pertanyaan tentang identitas dirinya.
Perjalanan kesenian Harsono sejak awal terangkum dalam pameran “The Life and The Chaos: Objects, Images, and Words” yang digelar di Erasmus Huis pada 1-30 Oktober 2015. Harsono mendapat tempat di sana setelah memperoleh Prince Clause Laureate Award dari Kerajaan Belanda pada 2014.
Pameran tunggal itu menampilkan berbagai contoh benda temuan, koleksi pernyataan, instalasi, dan foto-foto karya Harsono sejak mula kariernya hingga kini. Direktur Erasmus Huis, Michael Rauner, mengatakan Harsono adalah seniman yang berhasil menghidupkan seni kontemporer Indonesia selama lebih dari 40 tahun. “Karya Harsono menyembuhkan luka masa lalu Indonesia,” kata Rauner dalam keterangan tertulisnya.
Dalam linimasa yang terpampang di sepanjang dinding ruang pameran, tampak karier kesenian Harsono dimulai pada 1975. Pada tahun tersebut, pria kelahiran 1949 ini mendobrak aliran modernisme dalam seni rupa Indonesia dengan turut serta mempelopori Gerakan Seni Rupa Baru. Harsono dan sebelas seniman lainnya, termasuk Jim Supangkat dan Muryoto Hartoyo, memprotes pengkotakan seni rupa yang seolah hanya terdiri atas lukisan dan patung serta terkesan berjarak dengan penonton. Gerakan ini menjadi cikal-bakal berkembangnya seni rupa instalasi di Indonesia.
Harsono menolak otonomi seniman yang memandang bahwa setiap karya harus dibuat dengan tangan sendiri, tunggal, dan berjarak. Selain itu, karya seni bisa berada dalam ruang konkret, sehingga penonton dapat masuk dan berinteraksi dengan kreasi si seniman. “Saya baru sadari bahwa ideologi yang saya pegang sejak awal ini adalah pemikiran-pemikiran post-modernisme,” ujar dia.
Karya Harsono pada masa ini antara lain instalasi berjudul Apa yang akan Anda lakukan bila pistol kerupuk ini menjadi pistol beneran?, yang pertama kali ia buat pada 1972. Harsono membuat ratusan tiruan pistol dengan bahan cone es krim berwarna merah muda. Tumpukan pistol diserakkan di lantai. Di sampingnya, ditaruh sebuah buku dan pena, sehingga siapapun bisa menulis jawaban atas pertanyaan yang ia cetuskan. Jawaban yang muncul bermacam-macam, dari serius hingga lelucon. Interaksi antara seniman dan penonton tercipta.
Mundurnya Soeharto menandai era gamang saat kekuasaan tak lagi berada di satu tangan. Obyek kritik yang tadinya jelas kini berubah menjadi banyak rupa. Demokrasi dipraktekkan secara beragam. Persoalan baru seperti korupsi dan konflik akibat keragaman agama pun mengemuka. Gejala ini juga mempengaruhi karya Harsono. “Selama beberapa tahun ia mengalami masa transisi setelah masa reformasi,” kata kurator pameran, Hendro Wiyanto.
Menyadari bahwa kekuasaan telah tersebar dalam berbagai institusi dan relasi, termasuk dalam keseharian, Harsono kini harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Narasi mengenai identitasnya, kata Hendro, harus disusun ulang oleh Harsono.
Pencarian identitas Harsono ditandai dengan semakin terbukanya ia akan ke-Cina-annya. Terlebih, pada 2000, Gus Dur mencabut larangan menampilkan ekspresi budaya Tionghoa yang telah berlaku selama 30 tahun lebih. Setahun setelah larangan itu dicabut, alumnus Akademi Seni Rupa Indonesia ini membuat karya Wear Mask yang terang-terangan menampilkan aksara Tionghoa.
Harsono mencari dirinya dengan menggali sejarah etnis Tionghoa di Indonesia. Ia menyadari sejak lama ia telah menerima perlakuan diskriminatif karena identitasnya. Jejak Tionghoa di Indonesia pun seolah dihapus. Harsono mencontohkan sebenarnya ada tiga pemuda Tionghoa yang terlibat saat Sumpah Pemuda 1928. Pemuda Tionghoa juga ikut dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Keberadaan mereka, kata Harsono, dihilangkan dari teks sejarah pada masa Nugroho Notosusanto.
Pembantaian massal etnis Tionghoa pada kurun 1947-1948 juga luput dari pencatatan. Harsono dengantekun melakukan riset dan mengunjungi kuburan massal etnis Tionghoa di berbagai kota. Berdasarkan risetnya, ia lalu membuat karya untuk mengembalikan suara kaum minoritas.
Perjalanan itu menja di sangat personal bagi Harsono. “Saya tidak murni Tionghoa, tapi sejak kecil sudah menerima perlakuan diskriminatif,” kata pria kelahiran Blitar ini. Dia mengenang upaya pertama-nya membuat paspor pada 1992 yang ditolak karena, “KTP-nya tak menunjukkan tanda warga negara Indonesia asli.”