Menelusuri Keterkaitan Estetika dan Politik dalam Seni Rupa Indonesia Kontemporer

Pembantaian orang-orang komunis menyusul kudeta militer G-30-S adalah peristiwa besar yang mengubah sejarah Indonesia secara radikal. Tak kurang dari 500.000 orang mati, menurut perhitungan konservatif. Bahkan kemungkinan juga mencapai angka antara satu hingga tiga juta nyawa, menurut dokumenter The Act of Killing yang disutradai Joshua Oppenheimer. Di luar itu, sekitar 1,5 juta orang dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan dan selamanya dijadikan objek diskriminasi sosial-politik (Roosa, Ratih & Farid 2004: 9). Pada tanggal 12 Maret 1966, Jenderal Suharto membubarkan Partai Komunis Indonesia berikut dengan seluruh ormasnya, termasuk di antaranya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah lembaga seni-budaya berperspektif kerakyatan yang memiliki lebih dari 100.000 anggota di seluruh Indonesia. Dengan jumlah korban sebesar itu, sudah tentu terjadi perubahan drastis dalam masyarakat Indonesia, begitu juga ekspresi keseniannya.
Artikel ini 1 akan menguraikan proses depolitisasi atas praktik seni modern di Indonesia pasca-naiknya Suharto dan melacak asal-muasal kembalinya dimensi politik dari praktik seni dan wacana estetika pada masa Orde Baru. Secara lebih khusus lagi, artikel ini akan membaca peran berbagai karya rupa dan tulisan FX Harsono dalam mengawali upaya menempatkan kembali politik pada jantung seni rupa Indonesia. Artikel ini akan ditutup dengan uraian tentang bentuk-bentuk artikulasi politik seni rupa pasca-Reformasi dan kontribusi Harsono pada panorama seni rupa kontemporer.
Modernisme dan Politik Kebudayaan Orde Baru
Bambang Bujono pernah menulis bahwa pembubaran Lekra merupakan peristiwa seni rupa Indonesia terpenting sejak dibentuknya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang mengawali praktik seni rupa modern di Indonesia pada tahun 1938 (Bujono 2004: 67). Dengan pembantaian terhadap orang-orang komunis pasca-peristiwa 1965, berakhir pulalah suatu tradisi estetika seni lukis yang punya wawasan dan sikap sosial-politik yang eksplisit. Naiknya Orde Baru berarti juga menyeruaknya keperluan akan suatu rezim estetika yang memuja segala yang serba-samar dan ambigu dalam perkara politik. Keperluan inilah yang dengan leluasa diisi oleh seni lukis abstrak. Tentu saja, tradisi seni lukis abstrak, atau setidaknya abstraksionis, di Indonesia tidak dimulai pada masa Orde Baru. Lukisan semacam itu sudah bisa kita temukan jejaknya sejak transformasi dari lukisan-lukisan kubistis ke abstraksionis yang bercorak geometris pada dekade 1950-an dalam karya para pelukis seperti But Muchtar, Mochtar Apin dan Srihadi Sudarsono. Namun dalam lukisan abstraksionis, masih bisa kita temukan sosok, ilusi representasi dan karenanya subject matter. Tidak demikian halnya dengan lukisan yang murni abstrak, seperti misalnya “Komposisi Abu-Abu” (1966) karya G. Sidharta atau “Komposisi Dengan Emas” (1967) karya Sadali. Permulaan masa Orde Baru ditandai dengan merebaknya lukisan abstrak semacam itu.
Bersamaan dengan tumbuh-kembangnya gaya lukis abstrak di Indonesia pada dekade 1960-an dan 1970-an berkembanglah suatu tradisi estetik yang disebut Sanento Yuliman sebagai lirisisme. Dalam lukisan-lukisan abstrak terkandung corak lirik sejauh setiap lukisan semacam itu, tulis Sanento, “merupakan bidang ekspresif, tempat seorang pelukis seakan-akan ‘memproyeksikan’ emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya. Bidang lukisan itu dipandang sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri” (Yuliman 1976: 40). Dalam hal ini, kita perlu membedakan antara lirisisme yang dikandung dalam lukisan abstrak seperti diidentifikasi Sanento dengan ekspresionisme yang muncul dalam generasi awal pelukis Indonesia modern seperti Sudjojono dan Hendra Gunawan. Landasan pemikiran dari gaya ekspresionis, seperti diungkap Sudjojono, adalah bahwa lukisan merupakan ungkapan jiwa—suatu ‘jiwa yang kelihatan’ (jiwa ketok). Walau begitu, ‘jiwa’ ini baru akan kelihatan setelah dihadapkan dengan kenyataan. ‘Jiwa’ dalam pengertian perupa ekspresionis itu berarti kacamata untuk membaca kenyataan. Itulah sebabnya Sudjojono masih bisa berbicara soal kebenaran dalam seni lukis. 2 Lain halnya dengan para pelukis abstrak era 1960/1970-an. Dalam tradisi lirik, apa yang penting bukanlah kebenaran intuisi akan kenyataan, melainkan kekayaan semesta imajinasi yang cukup-diri.
Maka itu, tak aneh bila Sudjojono menentang keras gaya lukis abstrak. Dalam salah satu tulisannya di majalah terbitan ISI pada tahun 1985, Sudjojono menyebut para pelukis abstrak itu “munafik”, “sok suci” dan “makin tidak dimengerti, makin bangga”. 3 Pasalnya, lirisisme abstrak itu seperti hendak menghapuskan tautan antara seni dan kenyataan, membuat lukisan menjadi bidang dua-dimensi yang sepenuhnya swa-acu dan cukup-diri tanpa punya kaitan dengan kenyataan di luarnya. Lukisan abstrak dipandangnya seperti pelarian-diri ke alam privat sembari mengabaikan konteks yang membidani lahirnya seni lukis Indonesia modern, yakni pengalaman penjajahan dan perjuangan melawan penjajahan. Konteks inilah yang mencirikan dengan sangat kuat seni lukis ekspresionis generasi Sudjojono dan membedakannya dari kecenderungan individualis dalam seni lukis abstrak di awal Orde Baru. Di sini kerangka estetik dari seni lukis abstrak lah yang sejatinya dipertanyakan Sudjojono—kerangka estetika seni Modernis.
Modernisme seni adalah sebuah paham estetik yang muncul sejak akhir abad ke-19 lalu mendapatkan ungkapan paripurnanya dalam tulisan-tulisan Clement Greenberg di era 1950/1960-an. Pada tahun 1914, Clive Bell telah memberikan landasan teoretis bagi Modernisme seni dalam rupa estetika formalis. Baginya, titik berangkat dari segenap kenyataan artistik adalah perasaan dan emosi. Lukisan mengandung dalam dirinya sendiri bentuk-bentuk bermakna (significant forms), yakni seluruh elemen formal dalam karya yang menimbulkan sensasi emosional, terlepas dari muatan naratif atau acuan representasional yang mungkin dibawanya (Bell 1914: 8). Karya seni yang baik, dalam kerangka estetika formalis ini, adalah karya seni yang murni mengandalkan bentuk bermaknanya ketimbang berhutang pada asosiasi linguistik atau citrawi untuk membangkitkan perasaan keindahan. Itulah sebabnya ia menganggap ‘lukisan deskriptif’ (segala bentuk lukisan representasional) sebagai karya seni yang buruk karena segala aspek formal yang terkandung di dalamnya “tidak digunakan sebagai objek emosi, melainkan sebagai sarana mendorong emosi atau mengantarkan informasi” (Bell 1914: 16).
Kerangka estetika formalis inilah yang membidani lahirnya Modernisme dalam seni rupa. Perupa akhir abad ke-19, James Whistler, adalah salah seorang pelopor gerakan seni tersebut. Karyanya, Nocturne in Black and Gold (1874), atau karyanya yang lebih terkenal, Arrangement in Grey and Black No. 1 (1871), merupakan pembuktian kerangka estetika formalis dalam praktik. Segala acuan representasional dalam karya tersebut, jika pun masih ada, sepenuhnya dikebawahkan pada pertimbangan formal-komposisional. Melalui kerangka estetika macam inilah Greenberg membangun teorinya tentang ‘lukisan Modernis’. Greenberg menegaskan kembali pengertian ‘modern’ dengan acuan pada Kant dan tradisi filsafat modern, yakni kemawasan akan metode. Seni lukis Modernis, karenanya, dibangun di atas kesadaran akan pentingnya menyadari kekhasan metode lukis itu sendiri—pemaparan visual dalam batas-batas bidang dua-dimensi. 4 Bidang kanvas yang dua-dimensional merupakan syarat kemungkinan sekaligus batas-batas seni lukis. Karena itu, tidak seharusnya pelukis menciptakan ilusi kedalaman—melalui teknik lukis perspektif—sebab ini berarti mengkhianati wahana dua-dimensional itu sendiri. Inilah yang dimaksudnya sebagai ‘kekhasan wahana’ (medium specificity) (Greenberg 1999b: 558). Pengkhianatan atas kekhasan wahana akan menurunkan derajat karya seni menjadi kitsch atau produk desain yang bercorak populer dan diproduksi massal tanpa nilai estetis yang mendalam. Oleh sebab itu, apa yang boleh diandalkan para pelukis Modernis hanyalah seluruh aspek formal dari karya. Dalam Modernisme seni, singkatnya, kita menemukan kedaulatan sintaksis atas semantik yang dibangun melalui peminggiran sistematis atas segala yang dianggap kitsch sebagai ‘bukan seni’.
Kecenderungan estetika formalis ini dapat dilihat juga dari cara publik seni merespon karya seni, misalnya dalam tinjauan-tinjauan pameran lukisan yang dibuat di awal Orde Baru. Popo Iskandar, misalnya, menulis dalam harian milik ABRI, Berita Yudha, tentang pameran Sadali bulan Desember 1972: “Hilangnya unsur-unsur penuturan pada seninya Sadali, maka karya-karyanya adalah pertemuan antara renungan-renungan kontemplatif si seniman dan materi yang minta dibentuk di atas kanvas, jadinya ia merupakan sensasi untuk mata yang menggugahkan rasa keindahan badani. Lukisan-lukisan Sadali adalah cantik, dekoratif menyenangkan, yang dengan sendirinya membutuhkan proses pengerjaan yang meminta konsentrasi, kesabaran dan kecermatan” (Iskandar 2012: 203). Kesadaran estetika formalis dalam menjauhi kitsch juga nampak dalam pandangan Fadjar Sidik. Ketika karya-karya abstraknya dianggap ‘lari dari kenyataan’ oleh para perupa Lekra, Fadjar Sidik membalas dengan mempertanyakan secara retoris mengapa para perupa Lekra itu tak menggambar sepeda motor, mesin cuci atau kulkas saja sekalian—toh itu ‘kenyataan’ yang ada sekarang. Fadjar Sidik kemudian menjawab sendiri pertanyaan retorisnya dengan menyatakan kalau mereka melukis hal-hal itu, hasilnya tentu bukanlah karya seni, melainkan reklame semata (Bujono 2004: 72). Pengandaian estetika semacam ini kentara sekali bedanya dengan estetika Lekra seperti tercermin dalam laporan Misbach Tamrin atas pameran seni grafis Lekra di Harian Rakyat tanggal 23 Agustus 1964—laporan yang memberikan perhatian pada aspek sosial-politik dari praktik seni grafis sejajar dengan perhatian pada aspek formal-komposisionalnya, serta tidak mengecilkan arti wahana seni yang bisa diproduksi massal sebagai kitsch yang rendahan. 5
Kemenangan Orde Baru atas Orde Lama berarti juga kemenangan estetika formalis di atas paham-paham estetik lain yang tumbuh-kembang di era Sukarno (realisme sosialis, didaktisisme, fungsionalisme). Estetika formalis yang tercermin dalam lukisan-lukisan abstrak dengan cepat dipandang selaras dengan proyek politik kebudayaan Orde Baru. Dalam bukunya bertajuk Strategi Kebudayaan (1978), Ali Moertopo menulis bahwa “Orde Baru adalah sebuah proses kebudayaan” (Jones 2005: 136). Konsolidasi kapitalisme-negara pada zaman Orde Baru mensyaratkan konsolidasi kebudayaan nasional. Dalam konteks kesenian, Orde Baru membutuhkan jenis praktik kesenian yang tidak kritis pada pemerintah, yang tak mencampuri urusan politik—singkatnya, yang sibuk sendiri. Estetika formalis dengan pas menjawab kebutuhan ini. Dengan membuat seniman sibuk pada ‘kekhasan wahana’-nya sendiri, formalisme memberikan legitimasi bagi pengasingan dunia seni dari semesta politik. Sementara sanggar-sanggar seni komunis dan nasionalis dibubarkan, para senimannya dibekuk dan dikebumikan-paksa, para seniman di luar kubu itu diarahkan untuk asyik sendiri dengan mistik keindahan formal. Dari sini, dengan cepat lukisan abstrak menjadi identik dengan ‘lukisan pembangunan’, yakni jenis lukisan yang begitu selarasnya dengan semangat pembangunan Orde Baru sampai-sampai segera memenuhi rumah-rumah kelas menengah atas serta kantor-kantor pemerintah dan perusahaan swasta (Siregar 2010: 105-106).
Keterkaitan erat antara pengarus-utamaan gaya lukis abstrak dengan estetika formalisnya dan politik kebudayaan kapitalisme bukanlah fenomena khas Indonesia saja. Di Amerika Serikat, gaya lukis dan estetika semacam itu telah lama disinyalir punya hubungan kerabat dengan CIA. Dalam jurnal Artforum tahun 1974, Eva Cockcroft menulis artikel klasik bertajuk Abstract Expressionism, Weapon of the Cold War. Di sana Cockcroft menunjukkan intervensi CIA antara lain melalui lembaga seni berpengaruh, Museum of Modern Art (MoMA). Jabatan ketua dewan pembinanya pernah diisi oleh John Hay Whitney, seorang mantan pejabat OSS (lembaga pendahulu CIA). Lewat lembaga inilah serangkaian pameran lukisan abstrak-ekspresionis digelar di Eropa di akhir dekade 1950-an yang karya-karyanya, dalam ungkapan sejarawan seni Alfred H. Barr, Jr. dalam katalog pameran tersebut, merupakan “demonstrasi simbolik atas kebebasan dalam dunia di mana kata ‘kebebasan’ berasosiasi dengan sikap politik tertentu” (Cockcroft 1985: 131). 6 Lewat lembaga inilah perupa abstrak-ekspresionis Jackson Pollock memperoleh nama besarnya dan digadang-gadang sebagai seniman terbesar Amerika Serikat pada dekade 1950-an. “Dengan memberikan penekanan individualis dan menghapuskan pokok ihwal yang kentara dari lukisan mereka,” tulis Cockcroft (1985: 132), “para perupa abstrak-ekspresionis berhasil menciptakan gerakan seni baru yang penting. Mereka juga punya sumbangan, entah mereka sadari atau tidak, bagi suatu fenomena politik, yakni perceraian antara seni dan politik yang dengan sempurna melayani kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dingin.”
Suasana Batin dan Seni Lukis Awal Orde Baru
Namun Modernisme bukanlah satu-satunya pengandaian estetik yang berlaku dalam riwayat seni lukis modern di permulaan masa Orde Baru. Di balik itu, ada juga percampuran dengan suatu tendensi estetik yang dalam terminologi sejarah estetika Eropa akan disebut sebagai ekspresivisme (bedakan dengan ‘ekspresionisme’ yang merupakan aliran dalam seni lukis). Ketika Oesman Effendi mendefinisikan ‘seni lukis modern’ dalam makalahnya di tahun 1969 yang kontroversial dan memicu debat soal keberadaan ‘seni lukis Indonesia’, ia mengartikannya dalam kerangka yang akan dikenali di Eropa sebagai ekspresivis. Ia mendefinisikannya seperti ini:
“seni lukis sebagai hasil ekspresi dari seorang individu yang penuh cita ingin menyampaikan impuls hatinya, hasrat pernyataan atau manifestasi keakuan sebagai kehadirannya di tengah-tengah masyarakat, tanpa campur tangan dari kehendak di luar dirinya.” (Effendi 2007: 9)
Dalam definisi seni lukis modern semacam ini, sama sekali tak dapat kita kenali jejak estetika formalis. Apa yang kita temukan adalah visi estetik yang jamak ditemukan di akhir abad ke-19 dalam sebuah periode kultural yang biasanya disebut pasca-Romantik (atau kadang juga ‘Romantik akhir’ atau Late Romantic). Estetikawan seperti Nietzsche dan, di awal abad ke-20, Benedetto Croce serta R.G. Collingwood dikenal sebagai teoretisi ekspresivisme. Dalam kerangka estetika ini, karya seni merupakan ungkapan atau ekspresi dari kehidupan batin sang seniman. Collingwood pernah menulis: “Sebuah karya seni dalam pengertian yang sesungguhnya bukanlah suatu artifak, bukan benda fisik dan teramati yang dihasilkan oleh sang seniman, melainkan sesuatu yang ada semata di kepala sang seniman, hasil imajinasinya sendiri” (Collingwood 1938: 305).
Dalam khazanah seni lukis di Indonesia, pengertian yang diberikan Oesman Effendi tadi punya akarnya pada ungkapan legendaris Sudjojono, juru bicara Persagi. Formulanya sudah sering dikutip: “Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian ialah jiwa-kétok. Jadi kesenian ialah jiwa” (Sudjojono 1946: 69). Namun rumusan Oesman bukan cuma remah-remah dari penyataan Sudjojono; Oesman membelokkan pengertian Sudjojono. Apabila Sudjojono mengakarkan ‘kredo ekspresivis’-nya dalam pandangan-dunia anti-kolonial dan karenanya menyimpan dorongan politik (sehingga ia bisa bicara soal ‘kebenaran’ dalam seni lukis), Oesman mengisolasi ‘kredo ekspresivis’ tersebut. Oesman mengesampingkan dimensi politik pernyataan Sudjojono itu dan lebih menekankan dimensi individualnya. Apabila dalam Sudjojono perangnya adalah antara pelukis-sekaligus-aktivis bangsa jajahan melawan kolonialisme dan menggempur benteng kebudayaannya, dalam Oesman perangnya dipersempit menjadi antara aku-seniman versus masyarakat. Dalam makalah yang sama, ia mengkritik tendensi politis dalam dunia seni lukis menjelang era Orde Baru. Ia katakan:
“Seni lukis Indonesia mulai salah arah. Kalau selama ini—lepas dari nilainya—ia bertolak dari impuls hati, dari gerak dalam jiwa rasa, belakangan, faktor-faktor dari luar banyak ikut menentukan arahnya. […] Percobaan hidup yang pertama dari seni lukis … adalah bagaimana ia menyelesaikan diri dalam konstelasi kehidupan seni yang mulai diwarnai oleh politik […]. Karena ia mesti membawakan motif tertentu dan mesti diselesaikan dalam corak tertentu pula, sadar tak sadar si pelukis berkhianat kepada hasrat impuls diri yang ingin menyatakan keakuannya sebagai produk dari tuntutan zamannya.” (Effendi 2007: 11-14)
Sudjojono tidak berbicara tentang ‘keakuan’ sebagai ‘keakuan’. Dalam salah satu tulisan klasiknya, ia memperlihatkan keterkaitan yang erat antara ‘jiwa’ dan ‘nationaliteit’, atau secara lebih umum lagi aspek kedirian seniman dan cakrawala sosial-politiknya. 7 Ia tidak memisah-misahkan seni dari politik; ia tak mengenal distingsi antara ‘sikap estetik’ dan ‘sikap politik’. Oesman, sebaliknya, sangat menekankan pemisahan itu. Dalam posisi Oesman lah kita temukan ekspresivisme yang lebih menyerupai pandangan estetikawan Eropa pasca-Romantik di muka, yakni suatu ekspresivisme yang tertanam dalam pandangan-dunia individualis.
Ekspresivisme individualis Oesman, sebagaimana ekspresivisme Collingwood, dapat ditarik akarnya pada alam pikir Romantik tentang seniman sebagai sesosok jenius sublim yang tak bisa dimengerti masyarakatnya. Dengan demikian, ekspresivisme semacam itu bertopang pada prakonsepsi tentang sosok seniman sebagai entitas yang secara fundamental berbeda dari ‘orang awam’ atau ‘masyarakat biasa’. Ini adalah gejala yang telah muncul sejak lama dalam sejarah seni lukis di Indonesia. Dalam artikelnya di majalah Budaya Jaya tahun 1975, Sudjoko sudah mempersoalkan perkara yang ia sebut ‘individualisme romantik’ ini. Ia mengutip sepotong puisi karya penyair Belanda, Herman Gorter, untuk menggambarkan kredo yang banyak diyakini para pelukis Indonesia: “Seni adalah ungkapan individual dari emosi individual” (Kunst is de allerindividueelste expressie van de allerindividueelste emotie) (Sudjoko 2012: 217). Pengandaian ekspresivis semacam ini cocok dengan pathos eksistensialis yang melanda para intelektual dan seniman Indonesia era 1960/1970-an. Hasilnya adalah cara pandang moralis tentang seni, yakni bahwa seni adalah perkara kejujuran pada diri sendiri dan karenanya menuntut keberjarakan terhadap politik, bahwa politik itu kotor, bahwa seniman yang terlibat dalam politik atau mengangkat persoalan politik adalah seniman yang tidak jujur pada seninya sendiri. Dalam segi itulah pengandaian ekspresivis ini klop dengan estetika formalis yang tadi diuraikan. Di sinilah terwujud sinergi antara ‘keakuan’, ‘komposisi’ dan ‘pembangunan’.
Gerakan Seni Rupa Baru dan Gugatan atas Politik Kebudayaan Orde Baru
Hubungan yang harmonis antara seni lukis awal Orde Baru dan ‘Pembangunanisme’ yang dianut rezim Suharto dengan cepat membiakkan imaji tentang kemapanan. Sehingga pada awal dekade 1970-an praktis seluruh pelukis menghasilkan lukisan abstrak ataupun dekoratif (berdasarkan olahan atas ragam hias tradisional) yang bisu secara politik. Perbincangan seni rupa—tak pelak lagi dimonopoli oleh isu seputar seni lukis—dipenuhi dengan pembahasan tak habis-habisnya atas pilihan warna, tekstur, bentuk dan aspek-aspek formal-komposisional lainnya. Tak ada ruang untuk membahas kaitan antara seni dan masyarakat, apalagi tentang isu-isu politik. Karena itu, kemapanan ini segera berubah jadi kemandekan. Pada tahun 1970, Indonesia berpartisipasi dalam acara perayaan 25 tahun PBB yang digelar di New York. Untuk itu, sejumlah karya dipilih oleh sekelompok juri yang ditunjuk oleh pemerintah. Pilihan juri ini kemudian menimbulkan keresahan tersendiri sebab banyak karya lama—antara lain lukisan Kusnadi dari tahun 1957—yang dipilih ketimbang karya-karya baru (Sumartono 2001: 23). Ini menunjukkan dekadensi yang timbul akibat kemapanan autistik yang diderita seni rupa Indonesia.
Kejengahan terhadap suasana mapan yang suam-suam kuku itulah yang meledak dalam kontroversi seputar Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Praktis seluruh karya yang terpilih sebagai pemenang bersama dalam sayembara itu adalah karya para pelukis senior dengan gaya lukis yang itu-itu juga, yakni lukisan-lukisan A.D. Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam dan Abas Alibasyah. Keputusan inilah yang digugat lewat Pernyataan Desember Hitam yang ditandatangani oleh empat belas seniman, rata-rata merupakan mahasiswa dari ISI, ITB dan IKJ. Pernyataan ini menyatakan bahwa kerangka pikir yang dianut para juri, mewakili rezim seni rupa yang ada, adalah kerangka pikir yang usang. Selain itu, ditekankan juga pentingnya kemawasan seniman akan dimensi sosial, budaya, politik dan ekonomi, dalam menghasilkan karya seni. Di situ, bisa kita lihat, bagaimana perlawanan atas rezim estetika Orde Baru dinyatakan: menolak kerangka pikir formalistik dengan menanamkan kembali kesenian pada kenyataan sosial-politik.
Perlawanan yang tak diduga-duga ini menimbulkan reaksi yang amat keras di ISI. Seluruh mahasiswa ISI yang terlibat menanda-tangani pernyataan tersebut diskors. Direktur ISI, Abas Alibasyah, pelukis dekoratif yang juga pemenang sayembara kontroversial itu, menyatakan bahwa orientasi sosial-politik dalam manifesto Desember Hitam itu semestinya datang dari mahasiswa jurusan sospol, bukan mahasiswa seni. Kemudian ia mengatakan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu bertentangan dengan “pembangunan nasional” dan dapat membahayakan “kesatuan, integritas dan stabilitas nasional” (Sumartono 2001: 24). Tersiar juga kabar bahwa pernyataan Desember Hitam itu mengandung ‘bahaya laten komunis’ sampai-sampai Pangkowilhan (Panglima Komando Wilayah Pertahanan) IV Jawa-Madura, Letjen Widodo mengaku resah dengan perkembangan yang terjadi di ISI. Delapan bulan setelah kontroversi Desember Hitam, dideklarasikanlah Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang antara lain beranggotakan Jim Supangkat, FX Harsono, Muryoto Hartoyo dan didukung oleh paus kritik seni Indonesia, Sanento Yuliman. Di sinilah bermula apa yang Jim Supangkat sebut sebagai ‘seni rupa pemberontakan’ (Supangkat 1993: 13).
Gejolak yang dihasilkan GSRB amat krusial dampaknya bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Dalam semangat GSRB, semesta kesenian tak lagi asing dari semesta politik. Seniman tak lagi memposisikan-diri secara moralis di luar konstelasi politik, bak pertapa suci yang jauh dari tetek-bengek kehidupan duniawi dan berfokus hanya pada kontemplasi estetis atas bentuk-bentuk murni dalam pikirannya sendiri. Seniman mulai aktif menginterogasi kenyataan di sekelilingnya. Kegiatan seni jadi tak bisa dipisahkan dari kegiatan politik. Dalam semangat semacam inilah muncul kontroversi di seputar pameran bertajuk “Kepribadian Apa?” di Galeri Senisono, Yogyakarta. Pameran yang melibatkan para seniman muda eksponen Desember Hitam dan GSRB ini menggugat konstruksi ideologis pemerintah Orde Baru tentang ‘identitas nasional’. Pada hari pertama pameran, kapten polisi Wahjoeno segera melarang penyelenggaraan pameran karena mendapati adanya karya pornografis dan pada hari kedua ia menunjuk adanya dua karya yang ‘berbahaya’, yakni Hotel Tower of Asia karya Bonyong Munny Ardhi dan Kartu Remi indonesia karya Slamet Ryadhi (Sumartono 2001: 27). Karya yang pertama merupakan instalasi yang mengangkat isu kesenjangan ekonomi dengan menampilkan pengemis tertidur di emperen hotel berbintang, sementara karya yang kedua menggambarkan karta remi dengan wajah Suharto.
Pada tahun 1979, Jim Supangkat merangkum lima pokok pikiran yang digagas para eksponen GSRB. Pada kelimanya kita menjumpai pandangan-dunia baru yang tak mungkin kita temukan dalam tulisan dan karya para pelukis awal Orde Baru. Kelima pokok pikiran itu bisa diringkas seperti ini (Supangkat 2007: 125-126):
- Menolak skema klasifikasi seni rupa ke dalam seni lukis, patung dan grafis, serta menentang pembatasan karya rupa sehingga tidak diciutkan pada salah satu dari wahana seni yang ada.
- Menolak avant-gardisme yang memposisikan seniman sebagai sosok jenius subtil yang “tidak dimengerti masyarakat” serta “percaya pada masalah-masalah sosial yang aktual sebagai masalah yang lebih penting untuk dibicarakan daripada sentimen-sentimen pribadi.”
- Menolak hubungan patronase yang menundukkan seniman muda pada seniman tua (cantrikisme) dan membuka “kemungkinan berkarya” seluas mungkin.
- Menolak pandangan yang mengatakan “seni adalah universal” dengan kembali menginterogasi sejarah seni rupa Indonesia dan mencari konteks historis spesifiknya yang membuatnya tak bisa seutuhnya ditangkap lewat kategori-kategori yang didapat dari teori-teori seni di Barat.
- Memperjuangkan seni rupa yang hidup di tengah masyarakat.
Lima poin ini mengartikulasikan perubahan paradigmatik yang sangat mendasar. Poin pertama tiada lain adalah sebuah pukulan telak bagi iman formalis yang menjadi sokoguru Modernisme seni. Dengan itu, GSRB menolak doktrin ‘kekhasan wahana’ yang sangat puritan seperti dalam estetika Clive Bell, Roger Fry dan Clement Greenberg dan dipraktikkan oleh para pelukis abstrak dan dekoratif kala itu. Poin kedua adalah penolakan atas ekspresivisme yang melanda seniman modern Indonesia pasca-Sudjojono. Dengan itu, GSRB memposisikan diri berlawanan dengan doktrin ‘individualisme romantik’ yang antara lain mengemuka dalam pendirian Oesman Effendi. Dua poin pertama ini saja sudah merepresentasikan suatu balikan cara berpikir seni yang sangat fundamental di Indonesia. Itu masih ditambah lagi dengan penekanan pada eksperimentasi (poin ketiga), pada pembacaan-ulang atas sejarah Indonesia (poin keempat), serta pada ketersituasian seni dalam medan sosial-politik (poin kelima). Dengan kelimanya, GSRB menjadi mimpi buruk bagi rezim estetika Orde Baru.
GSRB membubarkan diri pada tahun 1979 karena ketidaksamaan visi di antara para eksponennya, terutama perebutan pengaruh terkait posisi “jurubicara GSRB” antara kubu Jim Supangkat dan Hardi (Harsono 2016). Kendati begitu, GSRB telah membuka cakrawala baru dalam imajinasi artistik seniman Indonesia, khususnya di kalangan muda. Ia menjadi pintu masuk bagi sejumlah kesadaran estetis baru, misalnya kesadaran bahwa seni lukis bukanlah paradigma utama seni rupa dan bahwa seniman bukanlah entitas yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Dua kesadaran penting ini direalisasikan lebih lanjut dalam karya Moelyono pada tahun 1985, Kesenian Unit Desa (KUD). Karya yang merupakan bagian dari proyek advokasi kerakyatan di Tulung Agung ini ditolak oleh para penguji di ISI ketika Moelyono menghadirkan karya tersebut sebagai bagian dari tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Alasan penolakan ini mencerminkan masih kuatnya pengandaian estetika formalis di benak para pengajar ISI. Subroto, asisten dekan fakultas seni murni, menyatakan: “Jelas bahwa KUD tidak termasuk lukisan. […] Alasan untuk menolaknya ikut ujian akhir adalah karena ia tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah lukisan. Persyaratan itu antara lain menyebutkan bahwa karya mesti menempati bidang datar dan punya aspek-aspek lukisan tertentu” (Sumartono 2001: 31). Argumen asisten dekan ini jelas merujuk lagi pada doktrin ‘kekhasan wahana’ dan penekanan pada flatness sebagai syarat dan batas seni lukis Modernis dalam kacamata Greenberg. Dengan demikian, nampak bahwa kendati tumbuh kesadaran baru yang radikal di kalangan perupa muda, tetapi birokrat kampus tetaplah berpegang pada kaidah estetika lama. Konflik antara keduanya dan ketiadaan ruang bagi seniman-seniman muda untuk menampilkan karyanya inilah yang mendorong munculnya galeri-galeri alternatif seperti galeri Cemeti (1988).
FX Harsono dan Penemuan Kembali Dimensi Politik Seni Rupa
Di antara para eksponen GSRB, ada dua seniman yang fasih menuangkan pandangannya secara sistematis dalam bentuk tulisan: Jim Supangkat dan FX Harsono. Kendati begitu, keduanya memiliki pandangan estetis yang berlainan. Perbedaan pendapat ini mencuat antara lain menjelang penyelenggaraan Pameran Seni Rupa Baru Proyek 2 pada tahun 1989, ketika Harsono menyatakan tidak terlibat dalam pameran yang diorganisasikan oleh Jim tersebut. Apabila Jim Supangkat lebih menekankan dimensi formal-intrinsik dalam memandang seni kontemporer, Harsono justru lebih menekankan dimensi sosial-politiknya. Harsono tetap berkomitmen pada penolakan pada high art dan keberpihakan pada rakyat, sementara Jim lebih menekankan ekplorasi bentuk dengan mengesampingkan tautan dengan isu sosial-politik. 8 Sikap politik Harsono ini bisa tercermin secara konsisten dalam karya-karyanya sejak awal keterlibatannya dalam GSRB maupun praktik artistiknya jauh setelah masa-masa itu.
Poin kedua Pernyataan Desember Hitam 1974 yang ikut ditandatangi Harsono menyatakan: “Bahwa untuk perkembangan yang menjamin kelangsungan kebudayaan kita para pelukis terpanggil untuk memberikan kearahan rohani yang berpangkal pada nilai-nilai kemanusiaan dan berorientasi pada kenyataan kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi.” Sikap estetik Harsono yang nampak dalam karya-karyanya sampai hari ini menunjukkan komitmen pada keyakinan itu. Pada pameran perdana GSRB di tahun 1975, Harsono memamerkan karya berjudul Paling Top ’75, yakni sebuah karya instalasi berupa senapan mainan M-16 yang ditempatkan pada kotak berlatar kain putih ditutup anyaman kawat sederhana. Dengan karya itu, ia seperti mempersoalkan populerisasi budaya kekerasan dan militerisme. Demikian pula dengan karya instalasi Rantai yang Santai pada pameran tersebut. Dengan wujud berupa kasur, bantal serta guling yang dibelit rantai, Harsono seperti tengah mengkritik beroperasinya aparatus represif kekuasaan yang telah merasuk sampai taraf yang paling privat (kasur, bantal dan guling sebagai objek-objek dari ranah privat). Dalam arti tertentu, ia seperti hendak membongkar aparatus ideologis negara yang bekerja pada setiap relung kehidupan masyarakat. Dan ini dijalankan Harsono tanpa acuan kepada Marxisme, sesuatu yang lazimnya dijumpai dalam pendekatan berkesenian yang bercorak politis sebelum Harsono (para perupa Lekra). 9
Kecenderungan politis dan sadar lingkungan juga tercermin dalam karya-karya Harsono selanjutnya. Karya instalasi Power and the Oppressed yang dipresentasikan di Pameran ARX 3, Perth, Australia, 1992, memproblematisasi lebih lanjut logika bekerjanya kekuasaan. Karya ini terdiri dari objek-objek simbolis yang menggambarkan kekuasaan, seperti kursi kekuasaan yang dikelilingi kawat berduri, dilatari gambar-gambar keris dan bola api seperti dalam kisah pewayangan, berhadapan dengan barisan ranting yang ditempatkan di atas kain putih dengan bercak merah. Melalui karya ini, Harsono mengangkat persoalan mobilisasi metafor kekuasaan feodal Jawa di tangan Suharto, dengan segala mistifikasi supernaturalnya, yang menempatkan rakyat sebagai sosok rapuh seumpama ranting-ranting berdarah. Dalam karya instalasi Suara yang Tak Bersuara (1994), Harsono mengemukakan hal yang sama dari sudut pandang korban. Karya ini berupa sembilan panel berukuran 1,2 x 1,8 m yang merekam cetakan bahasa isyarat tangan. Isyarat itu melafalkan kata “d-e-m-o-k-r-a-s-i” dalam sunyi, sebuah alegori dari suasana ketertindasan rakyat kecil yang direnggut suaranya oleh rezim Orde Baru. Motif suara ini diteruskan dalam karya Suara dari Dasar Bendungan (1994), sebuah instalasi yang melibatkan found objects berupa pakaian khas Madura, pohon cabai, pot dan perkakas tembikar, yang masing-masing dihadapkan pada mikrofon dan diiringi suara rekaman wawancara Harsono dengan para penduduk desa Sampang, Madura, yang tanahnya akan digusur pemerintah karena rencana pembangunan waduk di sana.
Kerusuhan Mei 1998 yang menyasar orang-orang keturunan Tionghoa meninggalkan jejak yang mendalam pada pengalaman Harsono. Ia pun mulai mempertanyakan kembali identitasnya sebagai bangsa Indonesia sekaligus keturunan Tionghoa. Tema keterasingan mulai mengemuka dalam karya-karyanya sejak peralihan abad, khususnya karya-karya dalam pameran bertajuk “Displaced” di Cemeti Art House, Yogyakarta, 2003. 10 Melalui sejumlah karya grafis, Harsono menghadirkan problematika identitas yang berbaur dengan rentetan imaji kekerasan, seperti dalam foto-etsa Open Your Mouth (2001) dan cetak-saring Harga Diri (2002). Melalui karya-karya itu, nampak bagaimana Harsono tetap mengangkat tema klasiknya, yakni hubungan antara kuasa, sejarah dan kemanusiaan. Tema inilah juga yang mengemuka dengan begitu kuat dalam karya-karyanya yang paling mutakhir, terutama yang terhimpun dalam Proyek Ndudah, sebuah rekonstruksi kolosal atas pembantaian orang-orang keturunan Tionghoa pada masa Revolusi Fisik (sekitar 1946-1949). Ia bekerja dengan mendasarkan pada arsip foto penggalian korban yang dibuat ayahnya di tahun 1950-an. Seri lukisan Memelihara Hidup, Menghentikan Hidup (2009) adalah sebagian dari proyek besar itu. Di sana, Harsono menyandingkan lukisan dari adegan sejarah keluarganya (pernikahan dan foto keluarga) dengan lukisan dari foto-foto penggalian korban pembantaian. Apa yang mengemuka, kemudian, adalah suatu “reproduksi manual” atas aura sejarah. 11 Bisa kita lihat bahwa Harsono tidak pernah meninggalkan komitmen estetiknya pada persoalan kekuasaan, sejarah dan kemanusiaan. Baginya, praktik artistik tidak pernah dan tidak semestinya terasing dari semesta sosial-politik.
FX Harsono tak bisa dipungkiri adalah salah seorang pelopor rehabilitasi dimensi politik dalam seni rupa Indonesia pasca-1965. Praktik artistiknya dekat dengan gerakan masyarakat sipil yang di Indonesia mengemuka dalam simpul-simpul yang terbentuk antara LSM, aktivis Hak Asasi Manusia dan gerakan politik pro-demokrasi pada masa-masa rezim otoritarian Orde Baru. Ia dekat dengan praktik seni rupa komunitas yang digiatkan generasi perupa pasca-GSRB seperti yang dilakukan Moelyono, Semsar Siahaan dan Dadang Christanto. Kendati sarat dengan dimensi politik, karya-karya Harsono tidak lantas berorientasi pada seni propaganda. Dalam karya-karyanya, ekplorasi bentuk tidak pernah dikesampingkan demi memudahkan penyampaian isi atau pesan pada publik luas. Inilah yang membedakan karyanya dari karya-karya politis yang mendasarkan diri pada revitalisasi idiom visual Lekra seperti yang dilakukan para seniman Taring Padi. Harsono sendiri mengkritik kecenderungan semacam itu sebagai sesuatu yang tak jauh berbeda dari estetika baliho-baliho partai zaman Orde Baru. {Harsono menulis tentang gerakan Taring Padi sebagai berikut: “Agar karya mereka komunikatif, Taring Padi tidak banyak memberi ruang untuk eksperimen dalam menemukan bentuk-bentuk baru. Hal ini mengakibatkan karya-karya mereka terasa stereotip. Simbol-simbol perjuangan selalu digambarkan dengan tangan mengepal, rakyat yang tertindas selalu tampak kurus dan tak berdaya, penindas selalu nampak berwajah garang dan kekar. […] Lantas, secara bentuk dan strategi pemilihan media, apa beda antara karya-karya Taring Padi dengan baliho raksasa dari partai-partai politik masa Orde Baru yang hanya memakai ruang publik sebagai penempatan karya-karya yang mengandung pesan yang ditujukan kepada masyarakat luas?” (Harsono 2009a: 119)}
Kontribusi Harsono pada sejarah seni rupa kontemporer juga terletak pada keberhasilannya merumuskan dasar-dasar estetik baru yang memberi porsi seimbang antara eksperimentasi formal dan dimensi-dimensi sosial-politik. Dalam makalah yang ia sampaikan untuk sesi diskusi Binal Seni Eksperimental, Yogyakarta, 4 Agustus 1992, nampak betapa Harsono sadar betul pada konsekuensi estetik dari praktik yang ia lakukan bersama sebagian perupa kontemporer pasca-GSRB. Ia menyebut sejumlah pokok konsepsi estetika yang melandasi praktik artistiknya, antara lain penolakan terhadap lirisisme dan penolakan atas anggapan yang mengutamakan bentuk di atas aspek sosial karya. Ia menolak lirisisme yang diartikan sebagai bentuk praktik artistik yang berkisar pada urusan mengekspresikan emosi individual ke dalam karya. Praktik perupaan Harsono adalah nonliris, yakni “berusaha menghadirkan benda secara nyata”, dengan kata lain menghadirkan sebuah permasalahan yang bisa dirasakan bersama, ketimbang menghadirkan benda sebagai representasi visual dari emosi sang seniman sendiri. Ia juga menegaskan bahwa “nilai estetik bukan satu-satunya nilai yang terpenting dalam penciptaan karya seni. Masih ada nilai-nilai lain yang lebih penting, misalnya nilai kemanusiaan atau nilai sosial” (Harsono 2009b: 76). Konsepsi estetika ini ditopang oleh metode pengkaryaan yang sifatnya partisipatoris, melibatkan interaksi dialogis antara sang seniman dengan masyarakat, seperti yang dilakukan Moelyono di desa-desa Jawa Timur atau yang dibuat Harsono sendiri dengan live in di desa Sampang, Madura, dalam proses penciptaan karya instalasi Suara dari Dasar Bendungan (1994). Inilah suatu metode pengkaryaan yang mulai diuji-cobakan di Indonesia sejak para perupa Lekra melakukan ‘turba’ (turun ke bawah) untuk memproduksi karya seni di tengah-tengah, dan dalam dialog dengan, massa rakyat. Kesamaan juga dapat kita jumpai dalam hal sumber penciptaan. Seperti para perupa Lekra yang menjadikan permasalahan aktual rakyat sebagai titik berangkat proses pengkaryaan, Harsono mengatakan bahwa “masalah politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan sah sebagai orientasi dalam mencari sumber ide” dan bahwa “penciptaan bersifat konseptual” (Harsono 2009b: 78).
Dapat kita saksikan bagaimana Harsono tampil sebagai salah seorang perupa pertama yang mengembalikan dimensi politis dalam seni rupa Indonesia pasca-1965. Ia melakukannya pada aras praktik artistik maupun secara diskursif lewat tulisan-tulisannya yang amat sistematis dalam mengetengahkan suatu estetika yang punya pemihakan politik pada rakyat. Berbeda dengan kecenderungan seni rupa politis dewasa ini, Harsono tidak sekadar menjalankan peminjaman satu arah atas kosarupa para seniman Lekra. Ia menjalankan suatu pencarian untuk mencari wujud-wujud visual yang mampu menubuhkan realitas eksploitasi kekinian yang kian pelik. Ia, dalam arti itu, dapat ditempatkan sebagai salah seorang tokoh penting yang menempuh jalur pergumulan dialektis antara seni dan politik—sebuah jalur yang dibukakan oleh Sudjojono sejak era 1940-an dan mulai dilupakan orang sejak berdirinya Orde Baru.
Politik dan Estetika dalam Seni Rupa Indonesia Mutakhir
Dewasa ini, kesadaran bahwa estetika berkaitan erat dengan politik sudah jamak ditemukan di kalangan perupa Indonesia kontemporer. Dalam sejumlah karya performance kolektif yang bersifat spontan dan relasional ataupun karya-karya lukis yang nilainya di atas 10 milyar rupiah kita biasa temukan usaha visual untuk berbicara tentang politik. Kecenderungan politis semacam itu tak lagi dipersepsi sebagai pengkhianatan atas ‘kemurnian’ seni rupa, atau pembangkangan atas ‘kodrat formal’ seni rupa. Modernisme yang puritan dan apolitis sudah lama tumbang. Para perupa eks-GSRB dan pasca-GSRB telah membuka halaman baru dalam sejarah seni rupa Indonesia. Politik kembali mendapatkan tempat dalam medan petualangan estetika.
Ada satu hal mengenai praktik seni politis yang pada dekade terakhir ini semakin marak dalam kancah seni rupa Indonesia. Praktik tersebut belakangan ini cenderung mengerucut pada pendalaman dimensi partisipatoris dari praktik artistik. Inilah yang mengemuka, antara lain, dalam praktik ‘estetika relasional’ yang diuji-cobakan melalui berbagai artists-run initiatives seperti ruangrupa, Forum Lenteng dan Jatiwangi art Factory (JaF). Horison praktik seni politis di Indonesia dewasa ini adalah horison pasca-avant-garde. Dua pokok utama mengemuka di situ: 1) seniman bukan lagi berfungsi sebagai pencipta melainkan sebagai organizer dari hubungan sosial, 2) karya seni bukan lagi terutama soal benda atau artefak melainkan sebagai hubungan sosial. Yang dilakukan oleh Arief Yudi dan kolektif Jatiwangi art Factory di sebuah desa kecil di Majalengka, Jawa Barat, adalah ilustrasi yang paling gamblang. Mereka mengorganisasikan suatu kerja artistik bersama seluruh masyarakat desa. Keluaran dari kerja bersama tersebut adalah penciptaan karya seperti alat musik dari tanah liat, memanfaatkan potensi desa tersebut sebagai produsen genting dari tanah liat. Mereka menyelenggarakan festival kesenian bersama yang diikuti bahkan oleh pegawai pemerintah setempat dan tentara. Inilah seni rupa komunitas paling massif dari segi jumlah kepesertaan yang pernah dihasilkan dalam sejarah seni rupa Indonesia kontemporer.
Peran kepeloporan FX Harsono, bersama dengan Moelyono dan beberapa pegiat seni rupa komunitas pasca-GSRB lain, dalam menciptakan etos kerja kesenian kontemporer yang politis dan partisipatoris tentu tak dapat dipungkiri. Akan tetapi, acuannya sudah bergeser. Apabila generasi Moelyono banyak mengacu pada kerangka penyadaran sosial yang berakar pada estetika Augusto Boal dan pedagogi kritis Paulo Freire, generasi perupa partisipatoris dewasa ini lebih banyak mengacu pada ‘estetika relasional’ yang dibicarakan oleh Nicholas Bourriaud. Dalam praktik seni Moelyono, masih ada pretensi untuk memberikan ‘penyadaran’ pada massa (karenanya estetikanya disebut ‘seni rupa penyadaran’) dan oleh sebab itu masih terbaca jejak pengaruh avant-gardisme di sana. Lain halnya dengan Arief Yudi dan kolektif Jatiwangi art Factory yang bekerja dalam batas-batas tradisi dan imajinasi masyarakat setempat tanpa buru-buru mendesakkan suatu agenda besar emansipasi.
Pada akhirnya, tantangan terbesar seni partisipatoris kemudian adalah memikirkan dan menguji-cobakan praktik perubahan sosial yang betul-betul mendasar, bukan sekadar pulasan. Sehingga yang diubah bukan hubungan sosial pada aras permukaan saja, melainkan hubungan sosial terdasar yang menstruktur hubungan-hubungan sosial lain dalam sebuah masyarakat. Hubungan sosial apakah itu, bagaimana cara mengubahnya dan dalam bentuk seperti apakah perubahan itu diartikulasikan secara estetik—ketiganya adalah tantangan yang mesti dihadapi para seniman partisipatoris dewasa ini. Inilah yang agaknya masih menjadi pertanyaan besar dalam praktik seni partisipatoris di Indonesia.
Daftar Pustaka
- Bell, Clive. 1914. Art. New York: Frederick A. Stokes Company.
- Bujono, Bambang. 2004. “Sejumlah koleksi, sepotong sejarah dan perubahan”. Dalam Enin Supriyanto & JB Kristanto, ed. Perjalanan Seni Lukis Indonesia: Koleksi Bentara Budaya. Jakarta: KPG, 67-130.
- Cockcroft, Eva. 1985. “Abstract Expressionism, weapon of the Cold War”. Dalam Francis Frascina, ed. Pollock and After: The Critical Debate. New York: Harper and Row, 125-133.
- Collingwood, R.G. 1938. The Principles of Art. Oxford: Clarendon Press.
- Effendi, Oesman. 2007. “Seni lukis di Indonesia: dulu dan sekarang”. Dalam Ugeng T. Moetidjo dan Hafiz, ed. “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada”. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 8-19.
- Greenberg, Clement. 1999a. “Modernist Painting”. Dalam Charles Harrison dan Paul Wood, ed. Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 754-760.
- ———- . 1999b. “Towards a Newer Laocoon”. Dalam Charles Harrison dan Paul Wood, ed. Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 554-560.
- Harsono, FX. 2003. “Transisi: Pernyataan Seniman”. Dalam katalog Displaced, Galeri Nasional Indonesia & Cemeti Art House, 2003, h. 19-20.
- ———- . 2009a. “Seni Rupa (Dalam Ruang) Publik”. Dalam FX Harsono. Seni Rupa, Perubahan, Politik: Himpunan Tulisan. Magelang: Galeri Langgeng, 2009, h. 115-120.
- ———- . 2009b. “Perkembangan Seni Rupa Kontemporer di Indonesia: Tinjauan Problematik”. Dalam FX Harsono. Seni Rupa, Perubahan, Politik: Himpunan Tulisan. Magelang: Galeri Langgeng, 2009, h. 63-81.
- ———- . 2016. “Wawancara Martin Suryajaya dengan FX Harsono”, 11 Juli 2016.
- Iskandar, Popo. 2012. “Seni melalui virtuositas: suatu potret tentang Ahmad Sadali”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 201-206.
- Roosa, John, Ayu Ratih & Hilmar Farid, ed. 2004. Tahun yang tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, esai-esai sejarah lisan. Jakarta: ELSAM.
- Saunders, Frances Stonor. 1999. The Cultural Cold War: The CIA and the World of Arts and Letters. New York: New Press.
- Siregar, Aminudin TH. 2010. Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran S. Sudjojono. Tangerang dan Jakarta: S. Sudjojono Center dan Galeri Canna.
- Sudjojono, S. 1946. Seni Loekis, Kesenian dan Seniman. Yogyakarta: Indonesia Sekarang.
- Sudjoko. 2012. “Kita Juga Punya ‘Romantic Agony’”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 211-220.
- Sumartono. 2001. “The role of power in contemporary Yogyakarta art”. Dalam Outlet: Yogyakarta within the Contemporary Indonesian Art Scene. Yogyakarta: Cemeti Art Foundation, 17-62.
- Supangkat, Jim. 1993. “Seni rupa era ‘80”. Dalam Katalog Bienniale Seni Rupa Jakarta IX 1993, 13-27.
- ———- . 2007. “Lima jurus gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”. Dalam Ugeng T. Moetidjo dan Hafiz, ed. “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada”. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 123-124.
- Thamrin, Misbach. 2004. “Pameran nasional grafik Lembaga Seni Rupa Indonesia Lekra”. Dalam Bambang Bujono dan Wicaksono Adi, ed. Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 151-153.
- Wiyanto, Hendro. 2010. “FX Harsono dan Perkembangan Karyanya (1979-2009)”. Dalam katalog Re:petisi/posisi, Yogyakarta: Langgeng Art Foundation, h. 41-197.
- Yuliman, Sanento. 1976. Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
- Sebagian artikel ini pernah disampaikan sebagai makalah diskusi pada Simposium OK.Video bertajuk “Orde Baru” yang diselenggarakan ruangrupa di Galeri Nasional pada tanggal 15 Juni 2015.[↩]
- “Kebagusan dan kebenaran ialah satu. Kebenaran bagaimana juga tentu bagus, asal saja keluarnya kebenaran tadi tak berdusta pada hati sendiri. Dari itu tak heran kita mengapa anak kecil yang lari-lari telanjang di tengah jalan, kelihatan segala-galanya, toh tetap bagus. Dan muka mereka meskipun penuh ingus toh simpatik. Sebab apa? Sebab barès [terus terang], sebab tak berlagak, sebab benar dan dengan sendirinya bagus. Tetapi bagus yang hendak bagus saja yang tidak mengandung kebenaran di dalamnya, biasanya malah tidak bagus. Kalau pembaca tidak percaya, cobalah anak tuan yang baru berumur 6 bulan, tuan pangkas, tuang potong polka, lalu tangannya tuan tolak-pinggangkan, dan tuan tengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sebagai mandor besar kebun mengontrol pekerjaan kuli-kulinya, tuan terkejut akan efeknya. Tuan ketawa melihat anak tadi. Sebab ‘kebagusan’ tadi tidak mengandung kebenaran. Jadi kebenaran zonder [tanpa] bermaksud mencari ‘bagus’ saja tetapi mencari kebenaran sebagai kebenaran, tentu tetap bagus. Kebagusan zonder kebenaran sebaliknya: jelek, njeléhi [menyebalkan], mentertawakan [menggelikan].” (Sudjojono 1946: 40)[↩]
- “Kalau Barat, yang sudah menguasai materi, lalu kemudian jadi bosen dan muak pada materi lalu terus pergi ke abstrak, dll, itu saya mengerti. Tetapi kok di Indonesia yang baru saja keluar dari kekerasan 350 tahun cawe-cawe [ikut serta] juga ke abstrak, ini kira-kira sebab apa? Kapan kita gablek [mempunyai] materi, kok sudah jadi bosan materi? Malah kalau yang rakus materi saya lebih sering lihat dan baca. Jadi dalam praktek, yang muak materi saya betul-betul nggak pernah lihat, tapi di seni lukis le muak materi koq koyo ya-ya-o [rasa muaknya atas materi kok seolah sudah yang paling tak tertahankan]. Jadi kalau ada teori bahwa seni adalah gambar dari zamannya, maka satu-satunya kesimpulan adalah bahwa seni lukis sekarang di Indonesia adalah pemantulan dari kehidupan yang munafik; sok suci, tapi sebenarnya butuh daging bauk, kalau gelap mek-mek brutu. Kadang-kadang malah saya dengar pelukis ini omong besar: ‘saya modern, saya kontemporer. Kalau kamu tidak mengerti, kamu sudah tidak punya nomor lagi. Kamu kolot, kamu ketinggalan zaman. Kamu hanya mengerti yang kasat mata saja. Hanya orang-orang tertentu mengerti saya.’ Ini kok macam ilmu klenik! Makin tidak dimengerti, makin bangga, dan merasa tinggi sekali kedudukan kastanya!” (Sudjojono 1985: 37-38)[↩]
- “That visual art should confine itself exclusively to what is given in visual experience, and make no reference to anything given in other orders of experience, is a notion whose only justification lies, notionally, in scientific consistency. Scientific method alone asks that a situation be resolved in exactly the same kind of terms as that in which it is presented – a problem in physiology is solved in terms of physiology, not in those of psychology; to be solved in terms of psychology, it has to be presented in, or translated into, these terms first. Analogously, Modernist painting asks that a literary theme be translated into strictly optical, two-dimensional terms before becoming the subject of pictorial art – which means its being translated in such a way that it entirely loses its literary character.” (Greenberg 1999a: 758)[↩]
- “A. Manap, tampil dengan surprise melalui cukilan kayunya Aksi Tani. Tema dan pengungkapannya adalah sederhana sehingga massa secara sepintas lalu akan mudah memperoleh kesan. Hal yang menarik di samping itu, dalam ruang-tangkap (scope) dari bidang cukilannya yang terisi penuh di mana ia cukup menciptakan suasana yang megah dari suatu barisan raksasa kaum tani.” (Thamrin 2004: 153)[↩]
- Bandingkan juga pengamatan Frances Stonor Saunders atas strategi kebudayaan Amerika Serikat dalam ‘membungkus’ para maestro Modernis lain sehingga terlihat menguatkan posisi AS dalam Perang Dingin: “The art and sculpture exhibition was curated by James Johnson Sweeney, art critic and former director of New York’s Museum of Modern Art, which was contracted to organize the show: Works by Matisse, Derain, Cezanne, Seurat, Chagall, Kandinsky and other masters of early twentieth century modernism were culled from American collections and shipped to Europe on 18 April, aboard the appropriately named SS Liberté. Sweeney’s press release made no bones about the propaganda value of the show: as the works were created ‘in many lands under free world conditions’, they would speak for themselves ‘of the desirability for contemporary artists of living and workinginan atmosphere of freedom’” (Saunders 1999: 119)[↩]
- “Jadi sebelum gambar burung itu jadi, hal itu harus pergi dahulu dengan sendirinya ke jiwa kita. Sebab jiwa itu mempunyai watak yang lain-lain, umpamanya; rasa hidup filsafat, perasaan warna, perasaan indah itu lain-lain dan sebagainya. Karena nationaliteit mereka, maka buah proses yang ada pun akan lain pula. Dan di sinilah terjadi corak dan stijl gambar itu.” (Sudjojono 2007: 29)[↩]
- Dalam wawancaranya dengan kurator Hendro Wiyanto pada 15 September 1998, Harsono mengatakan: “Mengapa terjadi ketidaksepakatan antara Jim, Gendut dan Malela, dan saya pada sisi lain? Hal ini karena semenjak 1979 sampai 1987 seluruh eksponen GSRB telah mengadakan perjalanan yang bersifat individual dan perjalanan ini mengakibatkan perubahan dari titik awal GSRB. Dengan demikian pandangan saya tentang keberpihakan semakin jelas dibandingkan Jim dan kawan-kawan. Maka saya tidak mau untuk diajak melakukan perjalanan pencarian yang tanpa batasan, sebuah odyssey…” (Wiyanto 2010:115)[↩]
- Dalam wawancara dengan penulis, Harsono mengaku bahwa pada masa berkiprahnya sebagai perupa GSRB, ia belum mengenal kajian Marxisme; bahkan gerakan masyarakat sipil (LSM) baru muncul di Indonesia pada dekade 1980-an (Harsono 2016)[↩]
- Dalam katalog pameran tersebut, Harsono menulis sebuah catatan pendek berjudul “Transisi: Pernyataan Seniman” yang antara lain menyebutkan: “Setelah rejim Soeharto jatuh, budaya kekerasan semakin menampakkan sosoknya pada masyarakat kita. […] Pada saat berikutnya, saya merasakan kehilangan tempat berpijak dan merasa terasing di tengah-tengah masyarakat saya sendiri. Masyarakat inilah yang dulu pernah saya anggap sebagai kelompok yang harus diperjuangkan melalui kesenian.” (Harsono 2003: 19)[↩]
- Dalam wawancara dengan penulis, Harsono memaknai kecenderungannya belakangan untuk kembali ke seni lukis sebagai suatu hasil permenungan atas problematik “reproduksi mekanis” yang dicetuskan Walter Benjamin, Das Kunstwerk im Zeitalter seiner technischen Reproduzierbarkeit, di tahun 1936 (Harsono 2016). Reproduksi mekanis menimbulkan lenyapnya aura atau singularitas karya seni. Berangkat dari kesadaran itu, Harsono justru seperti hendak membubuhkan kembali aura pada karya seni dengan masuk ke dalam reproduksi manual (lukis) atas reproduksi mekanis (foto). Dalam hal ini, aura yang timbul dari sejarah pembantaian etnis Tionghoa di Indonesia.[↩]