“The Erased Time” F.X. Harsono

Indonesian Culture – indonesiaculture.net. “To live. To Cease Living” is one of F.X. Harsono’s artwork of acrylic and oil paint on a 2X3,5m canvas in his tenth solo exhibition themed “The Erased Time”.
“Memelihara Hidup. Menghentikan Hidup” adalah salah satu karya yang dituangkan F.X Harsono di atas akrilik dan cat minyak diatas kanvas berukuran 2×3,5m dalam pameran tunggalnya ke sepuluhnya yang berjudul “THE ERASED TIME”.
Upon the two photo painting panels titled “To live. To Cease Living”, in between in red letters reads “Marriage continues life / death ceases it/ marriage can be planned / death not one knows/ Blitar 1948”. Upon another canvas is written “Marriage is nurtured, conceives life and continues growing / Human should end one’s life or of others / Blitar, 1951. This painting creatively connects two images with different contexts, forming a contradiction further enhanced with verbal strength. The fusion of the wedding and grave digging image, affects new definitions enlivened with verbal texts.
Dalam dua panel lukisan foto yang berjudul “Memelihara Hidup. Menghentikan Hidup” Ditengah tengahnya ditulis dengan huruf merah: “Perkawinan meneruskan kehidupan/ kematian menghentikannya/ perkawinan bisa direncanakan/ tapi kematian tak seorangpun bisa menduga/ Blitar 1948”. Pada kanvas lain tertulis: “Perkawinan dibina dan membuahkan kehidupan dan terus berkembang/ Manusia tak seharusnya menghentikan kehidupannya sendiri atau orang lain/ Blitar, 1951” Lukisan ini secara kreatif mengaitkan dua gambar dengan konteks berbeda menjadi sebuah kontradiksi yang dipertajam dengan kekuatan verbal. Penggabungan dua tanda tersebut – foto pernikahan dan foto pembongkaran makam – mampu memberi konteks baru – yang dipertajam dan ditekankan pada teks verbal yang digunakannya.
In the center of the exhibition, an artwork with a neon box titled “the light of ndudah” which portrays the dark past of Orde Baru in black and white photos, conveying the endeavors of a group to uncover dead bodies, long buried in the ground. They were of Chinese ethnicities who were victims of a mass murder in 1946 to 1948, done by their father.
Ditengah ruang pameran terdapat karyanya dengan menggunakan neon box dengan judul “the light of ndudah” yang menceritakan masa lalu yang kelam pada jaman orde baru dimana foto-foto hitam putih itu menggambarkan upaya sekelompok orang untuk melakukan penggalian kembali jenasah yang sudah lama tertimbun tanah. Mereka adalah orang-orang Cina yang menjadi korban peristiwa yang agaknya merupakan pembunuhan massal antara 1946-1948 yg dibuat oleh ayahnya.
He brought back to mind the memories of time erased or deliberately forgotten. A fragment of time containing racial violence, tainting the independence struggle of this country. The involuntary incidence of Harsono witnessing these photos has transpired tens of years past. One day he realized that these photos were valuable historical documentation and kept the photo album as more precious than his family portraits.
Beliau mengangkat dan menggugah perhatian dan ingatan orang akan adanya sepenggal waktu yang dihapus – atau setidaknya sengaja tidak diungkapkan kembali. Sepenggal waktu berisi kekerasan rasis yang mencoreng perjuangan kemerdekaan negeri ini. Peristiwa Perjumpaan Harsono dengan foto-foto itu sudah lewat sekian puluh tahun. Suatu saat dia sadar bahwa foto-foto itu adalah dokumentasi sejarah yang teramat berharga untuk dilupakan begitu saja. Ia menyimpan baik-baik album foto itu, seakan bernilai daripada foto-foto dokumentasi keluarganya sendiri. (Mufti).